Friday, May 5, 2017

Cerpen yang pendek

Dalam dunia yang gelap dan gulita terjadi getaran hebat. Getaran ini tak dapat dilihat, namun rasanya sangat memuakkan. Sangatlah kacau, hingga manusia pun kebingungan merangkaikannya agar bisa dimengerti yang lain.
Kehebohan ini dimulai ketika puisi dan pantun saling membanggakan dirinya sendiri. Puisi memuji dirinya paling halus lembut karna mengekspresikan hati, serta bisa keras dan menggetarkan dikala ingin mendobrak hati. Namun, pantun yang juga memiliki karakteristik demikian adanya pula ikut menimpali bahwa sejarah peradaban manusia tak dapat dipisahkan dari diri pantun.
Setelah lama-lama beradu "bangga", keluar jugalah jumawa mereka. Puisi menyebut-nyebut Gibran, pantun menyebut-nyebut kebudayaan Melayu. Puisi menunjuk pantun kuno dan hampir punah, pantun menunjuk puisi bodoh dan tak lagi berestetika.
Maka, ikutlah berduduk si filsafat. Cinta kebijaksanaan yang satu ini hendak menengahi agar tidak menimbulkan kegaduhan yang berlarut-larut. Akan tetapi, karena bijaksananya filsafat hingga tertuduh ikut-ikut membanggakan dirinya sendiri bukan melerai. Karna filsafat juga mengikut-ikutkan abad-abad sebelum Masehi.
Bertigalah mereka mengguncang-guncangkan tempat gelap gulita tersebut. Dari perdebatan yang sengit ini, ditakutkan tempat yang aman, gelap, sunyi, dan gulita akan menjadi bersuara bermusik bercahaya berwarna bernuansa. Karena seyogyanya mereka menyukai kerahasiaan.
Turunlah ayat suci, berada di tempat perdebatan ketiga makhluk tersebut, ayat suci seperti utusan yang memang ditakdirkan hendak mendamaikan sesiapa sahaja. Ayat suci menyebut bahwa ia ditulis Ilahi agar supaya kejadian perdebatan menjadi persahabatan. Pertikaian menjadi keakraban. Begitulah kiranya ayat suci mengambil peran.
Ayat suci berpendapat kedudukan sesuatu itu bergantung kepada siapa yang membuatnya.
Filsafat kelihatannya mengambil langkah cepat berargumen bahwa kami juga diciptakan oleh Yang Maha Membuat oleh Yang Maha Berpikir, makanya kami ada. Pantun menjawab Ia tak dibantu namun membuat segala, kami dari Yang Satu ialah Allah Ta'ala. Puisi melengkapinya dengan sang fajar sang matahari sang surya sang senja dari situ aku merasai cinta dari-Nya.
Benarlah memang adanya, bahwa semua ini diciptakan oleh-Nya.
Aku huruf, kalian berempat (puisi pantun filsafat ayat suci) hanyalah dari kalimat, kalimat dari kata, kata dari huruf. Maka apa yang engkau banggakan bila tiada huruf. Tanpa ada kata, semua ini tiada. Tanpa ada kata, ku tak bisa bercerita. Tanpa ada kata, perpisahan hanya di alam pikiran.
Hingga jatuhlah tempat gelap yang menjadi perdebatan sengit itu, jatuh sejatuh jatuhnya. Jadi apakah tempat tersebut ?? jadi terang kah atau bersinar kah ?? entahlah.

Mei, 2017.

No comments:

Post a Comment